(Rachel Aliene Corrie In Memoriam 1979-2003)
Tanggal 16 Maret kemarin, genap enam tahun kematian Rachel Corrie, mahasiswi dan aktivis kemanusiaan asal Olympia, Washington, Amerika Serikat. Ia datang ke Jalur Gaza bersama para aktivis lainnya yang tergabung dalam International Solidarity Movement (ISM). Corrie adalah bagian dari kisah kekejaman pasukan Zionis Israel di Palestina.
Corrie masih berusia 23 tahun ketika tentara Zionis Israel melindasnya dengan buldoser buatan perusahaan Caterpillar hingga ia tewas. Peristiwa itu terjadi pada 16 Maret 2003-beberapa hari sebelum serangan AS ke Irak-di Rafah, ketika Corrie berusaha menghalang-halangi pasukan Zionis yang ingin menghancurkan sebuah rumah milik warga Palestina.
Saksi mata mengatakan, sopir buldoser Israel sengaja melindas Corrie karena saat itu posisi Corrie terlihat jelas dan mengenakan jaket warna oranye menyala. Namun laporan militer Israel yang dirilis pada bulan Juni 2003 menyebutkan apa yang terjadi pada Corrie adalah “kecelakaan”.
Organisasi-organisasi hak manusia mengkritik laporan tersebut dan menyebutnya sebagai “laporan yang menipu”. Setahun kemudian, kepala staff Menlu AS ( waktu itu dijabat Collin Powell) Kolonel Lawrence Wilkerson mengatakan pada orangtua Corrie bahwa hasil investigasi militer Israel “tidak kredibel, tidak menyeluruh dan tidak transparan.”
Orang tua Corrie lalu mengajukan gugatan hukum terhadap negara Israel, Militer Israel dan perusahaan Caterpillar-perusahaan yang mengekspor kendaraan-kendaraan berat ke Israel-pada tahun 2005 atas kematian puterinya. Namun pengadilan Federal menolak gugatan itu pada tahun 2007, terutama gugatan terhadap perusahaan Caterpillar dengan alasan mereka tidak bisa menuntut perusahaan yang berbasis di Illinois itu atau menuntut Israel sebagai negara karena hal itu mengharuskan mereka untuk mengeluarkan putusan hukum terkait kebijakan luar negeri AS yang sudah ditetapkan Gedung Putih.
Dalam putusannya, tiga hakim dalam pengadilan tersebut mengatakan bahwa gugatan orangtua Corrie tidak bisa diproses lebih lanjut secara hukum. Karena jika dilanjutkan, sama artinya pengadilan harus mempertanyakan secara implisit, bahkan mengecam kebijakan luar negeri AS terhadap Israel.
Naima Shayer, warga Palestina yang bersahabat dengan Corrie mengungkapkan kenangannya tentang Corrie. Waktu itu, Corrie sudah tinggal bersama keluarga Naima selama 23 hari. Naima tahu berita kematian Corrie dari keponakan perempuannya. Ia masih tak percaya karena beberapa jam sebelumnya, Corrie masih segar bugar dan mencium Naima berkali-kali sambil mengucapkan selamat tinggal. Naima tidak berfirasat buruk karena Corrie memang sering bersikap seperti itu.
Tapi ketika ia menyaksikan berita kematian Corrie di televisi karena dilindas buldoser Israel. Barulah ia percaya. Naima dan keluarga hanya bisa menangis. “Dia sangat baik pada kami. Dia sudah kami anggap sebagai keluarga kami sendiri,” kata Naima mengenang Corrie.
Hari ini, para aktivis ISM di kota Rafah memperingati enam tahun kematian Corrie dengan menerbangkan layang-layang. Satu layang-layang diterbangkan untuk memperingati kematian Corrie dan 14 layang-layang diterbangkan untuk menghormati sekitar 1.400 warga Gaza yang menjadi korban agresi brutal Israel bulan Januari kemarin.
Rachel Corrie
Jika Anda bertanya, ”Siapa dia?” Jawabnya: Dia gadis cantik, muda, energik dan mempesona. Lahir dan besar di tengah keluarga Kristen, di Olympia, Washington, Amerika Serikat. Beberapa hari sebelum kematiannya, sebuah Koran harian di Inggris memajang fotonya yang berjilbab di kolom Head line; ketika pertengahan Februari 2003, dia dan pegiat kemanusiaan anti-penjajahan berdemonstrasi di Tepi Barat, lalu di jalur Gaza Palestina, menentang pemugaran paksa rumah-rumah penduduk Palestina oleh militer Israel.
Aktivis-aktivis gereja berbangga karena Rachel lahir sebagai Kristiani yang konsisten berjuang sejak Olympia, Rusia, hingga Palestina. Orang-orang Yahudi menjadikannya sebagai penyambung lidah mereka, bahwa mereka tak setuju dengan pendirian rezim Zionis, Israel. Kaum Muslim, terutama warga Tepi Barat, Palestina, menegaskan bahwa Rachel Corrie belajar bahasa Arab, belajar membaca al-Quran sebelum dilindas Buldozer Israel dan mempersembahkan jiwanya untuk tegaknya keadilan.
Lazimnya, seorang anak, apalagi perempuan, mendapat warna orang tua dalam memilih ”dunianya.” Berbeda dengan Rachel Corrie, justru pengaruhnya teramat besar bagi kedua orang tua, saudara, serta kawan-kawannya. Rachel Corrie telah mencipta ”atmosfer keluarga” dengan nafas cinta kemanusiaan. Semula, keluarga, terutama mama Rachel menghendakinya urungkan niat berangkat ke Palestina. Tapi, Rachel menjawab singkat, ”Ma, telah kukemasi barang-barang yang kubutuhkan di sana (Palestina).” Sekarang seluruh keluarga Rachel menjadi penggiat lingkungan-hijau yang anti-fasis, anti-penjajahan, dan anti-rasisme.
Tak berhenti sampai di situ. Setelah kematiannya, pengaruh Rachel semakin kuat. Sekuat cita-citanya, rachel menggurat pena. Tulisannya menjadi inti api yang memantik lentera-lentera di berbagai penjuru dunia untuk memberi tahu; ada cinta Tuhan di setiap jiwa manusia. ”Inilah titik temu setiap insan. Maka dengan cinta-Nya, gelarlah permadani cinta untuk menari seirama gendang cinta,” ujar Rachel. Naskah catatan harian Rachel Corrie dipentaskan di berbagai Negara; Inggris, Jerman, Italia, Amerika Serikat dan lainnya. Ini bukti bahwa Buldozer Caterpilar D-9 Israel yang mengupas kulit kepala dan meremukkan tulang punggung Rachel tak mampu membungkam suara keadilan yang diujar gadis Olympia itu. Rachel tetap hidup, terutama di sanubari para pecinta keadilan, kedamaian dan kebenaran.
Rachel menegaskan jati diri sebagai penulis dan pelukis. Ada ”warna cerah” dalam tulisannya. Ada haru yang ”gagah” di bait-bait essaynya. Ada canda di gambar-gambarnya. Di puisinya, ada kata yang menari, lalu mencambuk, seperti petir melecut mengakhiri mimpi panjang para pengantuk. Kemudian, ada mata menitikkan bulir-bulir bening saat membaca catatan-catatannya.
Bila kata terujar mulutku tak berarti, biarkan ia mengambang sesaat di udara. Kan kujadikan itu kata-kata canda menghibur hingga kelak kucipta kalimat bermakna mengitarinya. Kumau terbang melayang untuk berkibar…. Beri aku jedah waktu, jangan komentari… Biarkanku menari, mengitari kelopak bunga lily. Kemudian melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti itu. Kalimat-kalimat ini adalah petikan salah satu catatannya. Kuat dan inspiratif. Seperti penegasannya, ”Beri aku jedah waktu, jangan komentari…” betapa dia sangat menghargai proses menjadi manusia. Dia yakin, tak ada yang sia-sia dari setiap imajinasi yang terujar merdeka.
Imajinasi Merdeka. Ia adalah racikan rasio dan rasa. Hasilnya adalah kekuatan tak tertakar. Ia sublim bersama pemiliknya sebagai energi hidup dan kehidupan. Saat menjelma sebagai tulisan, ia mencabar setiap pembaca waras. Ketika mewujud dalam perilaku, imajinasi merdeka adalah “pijar matahari” membakar setiap sudut gelap penghambat kemanusiaan.
Rachel Corrie, mengabadikan cita-cita cinta dan kemanusiaannya melalui catatan-catatan hariannya. Semua tulisan dan gambarnya ”berbicara” lugas dan berenergi. Dia beritahu dunia, bagaimana cara menjadi manusia. Dengan akal sehat, lalu kata yang waras, tulisan yang hidup, tindakan yang benar, semua telah dilakukan Rachel, di Palestina.
Rachel Corrie. Sejak Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP), Olympians for Peace in the Middle East (OPME), Students Educating Students about the Middle East (SESAME), Olympia Fellowship of Reconciliation (FOR) hingga International Solidarity Movement (ISM) disuplai energi kemanusiaan olehnya untuk meneriakkan kata “Merdeka!” Karena penjajahan yang diprakarsai negaranya (AS), Inggris dan Negara-negara Eropa masih berlangsung di hampir setiap sudut bumi ini.
Dengan pilihan merdeka, Rachel Corrie pergi ke Palestina. Rachel mempelajari isu tak masuk akal Palestina yang berhembus ke telinga dunia dengan kata “konflik” Palestina-Israel. Akhirnya dia dapati kenyataan bahwa Israel menjajah Palestina sejak lebih setengah abad lampau.
“Rachel, untuk pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk mengurungkan niat itu,” ujar Mama Rachel. Rachel menjawab pasti, “Barang-barang sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat Rachel tak tergoyahkan. Tekad telah bulat, “Goodbye Olympia…”
Januari 2003. Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat. Setibanya di tanah para pengungsi itu, dia langsung bergabung bersama insan internasionalis (dari Inggris, Jerman, Itali dll) di International Solidarity Movement (ISM); wadah para pegiat kemanusiaan anti penjajahan. Pergerakan ini hanya memiliki dua syarat partisipasi: Pertama, pegiatnya yakin bahwa bangsa Palestina berhak merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Kedua, pegiatnya hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Ketika tiba di Rafah, Rachel saksikan tank, bulldozer, menara-menara sniper dan pos-pos penggeledahan Israel bertengger di antara puing-puing bekas pemukiman penduduk Gaza. Tembok baja raksasa dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir. Matanya menyapu sekeliling; tampak orang-orang Palestina bertahan, meski penindasan terus berlangsung. Wajah-wajah lusuh itu menjalani hidup serba kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut. Itulah kisah jejakan pertama Rachel di bumi Palestina, seperti yang dikisahkan Craig Corrie, Mama Rachel Corrie.
Rachel abstraksikan bahaya di daratan gersang itu. Debam-debam ledakan nyaris tak berjedah diselingi suara peluru-peluru yang dimuntahkan. Sesekali jerit ketakutan penduduk samar terdengar. “Bisakah kau dengar itu…? Bisakah kau dengar itu…?” ujar Rachel terbata-bata saat pertama kali menelepon mamanya dari rumah seorang Palestina tempat dia tinggal.
Di Rafah, Rachel dan penggiat kemanusiaan lainnya menjadi benteng hidup, berdiri mengelilingi pekerja air kota Palestina yang menggali sumur. Dia hadang moncong laras panjang sniper-sniper militer Israel yang berada di menara benteng. Desir angin panas membahanakan deru misil-misil, tak hanya di Palestina, tapi ke seantero jagad.
Rachel dan rekan-rekan terus berdiri mengelilingi sumur-sumur yang sedang digali para pekerja hingga lewat tengah malam. Demi setetes air agar basahi tenggorokan pengungsi Palestina yang terkurung sejak lama di bui Gaza. Hanya itu satu-satunya cara, setelah kebun zaitun penduduk Palestina dilindas buldoser-buldoser tentara IDF (tentara pertahanan Israel), setelah tentara-tentara Israel menimbun sumur-sumur dengan puing-puing rumah penduduk.
Rachel mengasuh bocah yatim massal Palestina dalam naungan Children’s Parliament. Merekalah yang memantapkan kedewasaan Rachel. Melalui mereka, Rachel bisa berbahasa Arab. Melalui Rachel mereka berkenalan dengan bahasa Inggris.
Meski berada dalam situasi gawat di Rafah, Rachel dan kawan-kawan sempat berdemonstrasi menentang militer AS yang meluluhlantak Irak pada 15 Februari 2003. “Ini salah satu tragedi terbesar dalam sejarah,” tutur Rachel.
Kampung halaman: Olympia atau Gaza? Di mata Rachel sama pentingnya. Rachel menjadi tambang yang menyimpul komitmen persaudaraan Gaza-Olympia. Wanita, anak-anak bergabung dalam pekan raya persaudaraan prakarsa Rachel itu.
Rachel menghadang tentara IDF yang hobi meluluhlantak pemukiman penduduk Palestina terutama Gaza. Rachel sengaja menghuni rumah penduduk yang menjadi incaran buldoser-buldoser Zionis-Israel. Rachel sadar, hak hidup merdeka milik semua bangsa, termasuk bangsa Palestina. Ya, Rachel tahu, hukum internasional harusnya melindungi ribuan orang di Rafah, Jalur Gaza. Tak ada hak siapapun untuk memusnahkan bangsa lain, apapun dalihnya, termasuk dalih pendirian negara ilegal Israel dan perluasan wilayahnya oleh IDF dengan membasmi penduduk di daratan berbatasan Mesir itu.
16 Maret 2003. Bersama tujuh pejuang internasional kemanusiaan dari Amerika dan Inggris, Rachel rela menjadi benteng hidup agar sisa rumah-rumah warga Palestina selamat dari serudukan buldoser Caterpillar D-9R milik tentara Israel. Rachel dan aktivis ISM lainnya yakin, bangsa Palestina berhak hidup aman di rumah mereka, di sekolah bahkan di dalam bis. Rachel berprinsip; penjajahan Israel atas bangsa Palestina harus berakhir secepatnya. Pembantaian tak pernah dilakukan orang-orang beradab, apalagi dengan dalih perluasan wilayah. “Mungkin aksi damai efektif sebagai solusi hingga terhenti pembantaian orang-orang Palestina. Sebagaimana penduduk Amerika dan seluruh dunia bisa hidup merdeka, demikian Palestina,” tutur Rachel.
16 Maret 2003. Dua bulldoser dan tank-tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam, Rafah, Jalur Gaza, perbatasan Mesir menuju rumah-rumah penduduk Palestina. Satu buldoser dikendarai operator, dipandu seorang tentara yang berhenti tepat di depan rumah Nasrallah, salah satu keluarga di Rafah. Sudah beberapa hari Rachel tinggal di dalamnya. Bukan sekedar menumpang tidur, tapi Rachel sengaja menghendaki tentara IDF mengurungkan niat membongkar rumah itu karena keberadaannya. Juga, Rachel menegaskan tekadnya untuk bersama warga Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Kesan seram ini dipotret Rachel melalui e-mail yang dikirim kepada Mamanya: Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman dalam satu selimut.
Sekitar jam 5 sore, buldoser meraung-raung meminta tumbal. Saat melintas, rantai roda baja itu menyemburkan onggokan tanah kering hingga menimpuk aktivis-aktivis yang menjadi benteng hidup rumah warga Gaza itu. Seorang aktivis Amerika terlempar berguling-guling sebelum akhirnya tersangkut di kawat berduri dan seorang aktivis Inggris terjepit dinding. Buldoser D9R Israel siap melindas rumah itu, Rachel bergegas lari menghampiri. Dia tahu, keluarga Nasrallah berada di dalamnya. Dia hadang buldoser itu selayak Polantas menghentikan mobil di jalan raya. Aksi ini biasa dilakukan aktivis ISM sebelumnya.
Buldoser Israel tak berhenti. Aktivis-aktivis ISM lain menjerit histeris melambai-melambaikan tangan. Mereka ketakutan. Raungan buldoser menindih semua suara. Melihat D-9R semakin bergairah menyeruduk, Rachel berupaya memanjat gundukan tanah yang dikeruk pisau buldoser agar tak tertelan. Posisi Rachel di atas gundukan itu cukup tinggi, pasti tentara IDF yang mengoperasikan kendaraan baja itu melihatnya. Tapi serdadu itu tetap tancap gas. Rachel terbanting kemudian terseret pisau Bulldozer. D9R terus melaju. Rantai-rantai baja bergemeretak melindas Rachel, kemudian mundur. Tersisa tubuh hancur Sang gadis Olympia.
Teman-teman Rachel bergegas menghampiri. Rachel masih hidup kala itu. Dia sempat berkata, “Sepertinya punggungku remuk.’’ Tak lama ambulan Palestina datang. Saat itu dipastikan tiada harapan hidup bagi Rachel. Gadis berambut pirang itu dinyatakan meninggal beberapa saat setelah tiba di rumah sakit lokal.
Sayang, Rachel Corrie berada di pihak yang “salah.” Dia mati dilindas buldoser Israel. Karena alasan itulah pemerintahnya (Amerika Serikat) mendiamkan dan menghentikan kasusnya.
Rachel Corrie, abadilah namamu sebagai pejuang kemanusiaan. Engkaulah energi hidup yang menghidupkan.
* Kumpulan catatan Rachel Corrie sejak Rusia hingga Palestina berikut reportasenya selama di Gaza pada akhir 2002 dan 2003 diabadikan dalam sebuah buku berjudul : LET ME STAND ALONE: Goresan Pena Gadis Amerika yang Dilindas Buldoser Israel Hidup-hidup di Palestina.
“Inilah titik temu setiap insan. Maka dengan cinta-Nya, gelarlah permadani cinta untuk menari seirama gendang cinta” Rachel Corrie, 1979-2003
Bulldozer Caterpillar D9R yang digunakan oleh IDF (Israel Defence Force).
Rachel Corrie (berjaket Orange) sesaat sebelum insiden terjadi. Disini jelas Rachel Corrie berada pada jarak pandang si pengemudi Bulldozer.
Rachel Corrie tergeletak tak berdaya setelah dilindas oleh Bulldozer IDF
Rachel Corrie, Meninggal sesaat setelah ditabrak oleh bulldozer tentara Israel karena luka-luka yang cukup parah.
Sebuah Tugu kecil yang bangun oleh rakyat Palestina untuk memperingati kematian Rachel Corrie.
Orangtua Rachel Corrie, Cindy dan Craig Corrie. beberapa kali mereka menyempatkan diri mengunjungi tepi barat setelah kematian Rachel Corrie.
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di kota Olympia, tempat kelahiran Rachel menuntut dilakukannya investgasi penuh atas insiden yang terjadi.