Ali Syari’ati menuduh marx secara pasti mengacu pada gagasan yang kasar dan keliru dari pemikiran relegius yang mengangankan hari kemudian sebagai ganti dunia sekarang dengan segala kekurangan ekonomis dan kemanusiannya. Tetapi sebaliknya, kata Ali Syari’ati, seseorang yang telah mempelajari sumber-sumber kitab suci yang asli, dan pemeluk agama yang lebih sadar mengetahui bahwa agama menganggap hari kemudian semata-mata hanyalah kelanjutan yang dapat dimengerti dan logis dari kehidupan ini. Tidak ada sesuatu yang suprarasional atau berlawanan dengan ilmu dalam hal itu. Surga dan neraka, tingkat lebih tinggi atau lebih rendah pada hari kemudian, merefleksikan kebaktian dan ketidak kebaktian yang dilakukan masing-masing orang utk masyarakatnya.
Mereka merupakan hasil akhir kehidupan material duniawi individu (atau kehidupan kolektif) yang dalam kehidupan ini telah memilih jalan kemajuan manusia, telah tumbuh dalam kebajikan-kebajikan moral dan menyebarkannya pada rakyat, atau yang dalam kehidupan ini merusak sifatnya sendiri dan menyebarkan kejahatan.
Selanjutnya Ali Syari’ati mengemukakan bahwa pada pokoknya, apabila marx menyerang suatu ajaran tertentu, dia tidak mendasarkan argumentasinya pada prinsip kepercayaan dan teks asli agama itu, melainkan bertolak dari penyelewengan dan ketakhayulan yang telah menguasai diri penganutnya yang lebih rendah dan kurang berpendidikan, karena mereka merupakan sasaran empuk untuk dihina dan siap dicemarkan.
Dengan cara demikian ia melepaskan diri dari keharusan untuk menyelidiki lebih lanjut.
Upaya menentang agama dilakukan dengan berbagai cara, sebab agama harus disingkirkan dalam kehidupan manusia apabila komunisme ingin Berjaya.
Oleh karena itu Ali Syari’ati menuduh marx mencari jalan keluar yang paling mudah
menyerang agama, walaupun hal ini mengubah nada pidatonya dari filsuf yang terpelajar menjadi pengkhotbah evangelis atau politisi tukang kecap. Tak jadi soal, karena baginya serangan terhadap kepercayaan relegius menyinari jalan kearah kemenangan marxisme.
Dan tentu saja gerakan ini menganggap bahwa tujuan menghalalkan segala cara, mereka juga menyertakan apa yang disebut Lenin : “kebengisan terhadap agama”. Jadi tidaklah mengherankan jika marx seorang filsuf ilmiah dialektika. Dalam uraiannya memerangi agama secara ilmiah harus mengganti fakta intelektual dan ilmiah mengenai agama dengan “peranan historis dan sosial dari orang-orang serba agama”, dan dengan cara penyerangan yang sederhana terhadap orang-orang ini ia bisa mengarah sasaran yang tidak begitu empuk itu yakni untuk menghapuskan agama.
Jadi, kata Ali Syari’ati, ia akan berfikir bahwa agama adalah cara untuk menghalalkan ketidak adilan sosial. Sampai disini, ia tidak memasuki pembicaraan filosofis atau penyelidikan ilmiah (seperti yang dilakukan kaum materialis abad ke – 17 atau kaum naturalis lama) dan bahkan tidak pula berbicara mengenai agama “per se” atau mengenai pergerakan agama yang authentik dan asli.
Marxisme, kata Ali Syari’ati, berlandaskan materialisme dialektika yang mengandung kemiripan yang jelas dan tidak terbantah dengan bentuk fanatisme relegius yag paling kuat : dan, menurut kaum marxis, bukan semata-mata perspektif filosofis seperti milik kaum materialis dan naturalis sekuler Yunani–kuno abad ke – 18 (yang hanya menyampaikan abstraksi filosofis tentang manusia dan alam), melainkan juga “satu-satunya deskripsi ilmiah yang lengkap mengenai realita: dan suatu misi fanatik yang tidak mentolerir setiap perspektif lain yang berdampingan dengannya.
Marxisme juga menganggap dirinya kebenaran yang absolute dan eksklusif, di sampingnya hanya akan ada “kekeliruan absolute”, maka marxisme memandang bahwa segala tugasnya adalah pemusnahan secara sistematis segala bentuk agama.
Karena marxisme pada dasarnya menganggap agama sebagai sesuatu yang bukan saja sia-sia tetapi bahkan secara intelektual merusak. Marxisme menganggap agama sebagai musuh rakyat, suatu rintangan jalan, dan marxisme tidak pernah berusaha menutupi kejujuran kata Lenin : “Kita harus memperlakukan agama dengan bengis”
(Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan sesat pikir Barat lainnya (terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Husin Anis Al–Habsy), “Mizan”, Bandung, 1983)
Mereka merupakan hasil akhir kehidupan material duniawi individu (atau kehidupan kolektif) yang dalam kehidupan ini telah memilih jalan kemajuan manusia, telah tumbuh dalam kebajikan-kebajikan moral dan menyebarkannya pada rakyat, atau yang dalam kehidupan ini merusak sifatnya sendiri dan menyebarkan kejahatan.
Selanjutnya Ali Syari’ati mengemukakan bahwa pada pokoknya, apabila marx menyerang suatu ajaran tertentu, dia tidak mendasarkan argumentasinya pada prinsip kepercayaan dan teks asli agama itu, melainkan bertolak dari penyelewengan dan ketakhayulan yang telah menguasai diri penganutnya yang lebih rendah dan kurang berpendidikan, karena mereka merupakan sasaran empuk untuk dihina dan siap dicemarkan.
Dengan cara demikian ia melepaskan diri dari keharusan untuk menyelidiki lebih lanjut.
Upaya menentang agama dilakukan dengan berbagai cara, sebab agama harus disingkirkan dalam kehidupan manusia apabila komunisme ingin Berjaya.
Oleh karena itu Ali Syari’ati menuduh marx mencari jalan keluar yang paling mudah
menyerang agama, walaupun hal ini mengubah nada pidatonya dari filsuf yang terpelajar menjadi pengkhotbah evangelis atau politisi tukang kecap. Tak jadi soal, karena baginya serangan terhadap kepercayaan relegius menyinari jalan kearah kemenangan marxisme.
Dan tentu saja gerakan ini menganggap bahwa tujuan menghalalkan segala cara, mereka juga menyertakan apa yang disebut Lenin : “kebengisan terhadap agama”. Jadi tidaklah mengherankan jika marx seorang filsuf ilmiah dialektika. Dalam uraiannya memerangi agama secara ilmiah harus mengganti fakta intelektual dan ilmiah mengenai agama dengan “peranan historis dan sosial dari orang-orang serba agama”, dan dengan cara penyerangan yang sederhana terhadap orang-orang ini ia bisa mengarah sasaran yang tidak begitu empuk itu yakni untuk menghapuskan agama.
Jadi, kata Ali Syari’ati, ia akan berfikir bahwa agama adalah cara untuk menghalalkan ketidak adilan sosial. Sampai disini, ia tidak memasuki pembicaraan filosofis atau penyelidikan ilmiah (seperti yang dilakukan kaum materialis abad ke – 17 atau kaum naturalis lama) dan bahkan tidak pula berbicara mengenai agama “per se” atau mengenai pergerakan agama yang authentik dan asli.
Marxisme, kata Ali Syari’ati, berlandaskan materialisme dialektika yang mengandung kemiripan yang jelas dan tidak terbantah dengan bentuk fanatisme relegius yag paling kuat : dan, menurut kaum marxis, bukan semata-mata perspektif filosofis seperti milik kaum materialis dan naturalis sekuler Yunani–kuno abad ke – 18 (yang hanya menyampaikan abstraksi filosofis tentang manusia dan alam), melainkan juga “satu-satunya deskripsi ilmiah yang lengkap mengenai realita: dan suatu misi fanatik yang tidak mentolerir setiap perspektif lain yang berdampingan dengannya.
Marxisme juga menganggap dirinya kebenaran yang absolute dan eksklusif, di sampingnya hanya akan ada “kekeliruan absolute”, maka marxisme memandang bahwa segala tugasnya adalah pemusnahan secara sistematis segala bentuk agama.
Karena marxisme pada dasarnya menganggap agama sebagai sesuatu yang bukan saja sia-sia tetapi bahkan secara intelektual merusak. Marxisme menganggap agama sebagai musuh rakyat, suatu rintangan jalan, dan marxisme tidak pernah berusaha menutupi kejujuran kata Lenin : “Kita harus memperlakukan agama dengan bengis”
(Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan sesat pikir Barat lainnya (terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Husin Anis Al–Habsy), “Mizan”, Bandung, 1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar