Selasa, 06 November 2012

FILM PROPAGANDA HITAM PERISTIWA '65


Para korban tragedi kemanusiaan 1965 mengemukakan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dan Monumen Lubang Buaya Pancasila Sakti adalah bentuk pembohongan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru atas kehendak Soeharto. Film dan monumen tersebut adalah bentuk propaganda yang memutarbalikkan fakta di balik tragedi kemanusiaan 1965 yang menurut penyelidikan Komnas HAM termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
"Film G30S PKI itu adalah fiksi dan mengandung pembohongan pada masyarakat karena berangkat dari skenario sutradara (Arifin C. Noer), film yang murni menceritakan kejadian sesungguhnya dibalik tragedi kemanusiaan 65 adalah film dokumenter. Sedangkan monumen Lubang Buaya (monumen Pancasila Saksi) juga sama karena berdasarkan hasil visum tidak ada itu yang namanya jendral disilet-silet oleh Gerwani,"ujar Putu Oka Sukanta, korban 65 dan Sastrawan Lekra di masa Orde Lama di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (25/7/2012).
Putu Oka turut menjelaskan bahwa monumen dan film tersebut tidak seharusnya untuk dihancurkan, seperti yang telah dilakukan Orde Baru dalam merenovasi total atau menghancurkan bangunan asli Lapas Salemba dan Bukit Duri untuk menutupi jejak kejahatan kemanusiaan atas korban 1965. Film dan monumen tersebut meskipun mengandung pembohongan terhadap publik cukup dijadikan bahan pelajaran bahwa rakyat Indonesia sudah dibohongi oleh Orde Baru.
Pemerintah Indonesia, menurut Putu, harus segera membuat monumen pelanggaran Kemanusiaan 1965 di dalam monumen Pancasila Sakti yang memuat kekejaman rezim Orde Baru terhadap rakyat Indonesia yang dituduhkan simpatisan PKI dan underbow-nya tanpa disertai pembuktian lewat jalur hukum.
Monumen tersebut berisi mengenai diorama. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan ada sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Kopkamtib dibawah komando Soeharto yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa terhadap para korban 1965 di seluruh Indonesia minum Papua.
Mengenai film sendiri, pemerintah harus mengedepankan film yang berisi tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi yaitu pelanggaran HAM berat terhadap korban 1965. Film tersebut harus dapat menjangkau lapisan masyarakat dari tingkat bawah hingga yang paling atas demi pemulihan nama baik korban dan proses pelurusan sejarah yang selama ini dibelokkan oleh Orde Baru.
Hal itu tentunya, lanjut Putu, membutuhkan hasil analisis yang objektif dari para sejarawan dengan mengumpulkan banyak bukti mengenai yang sesungguhnya terjadi dengan beranjak pada penyelidikan Komnas HAM. "Kita tidak dapat menyalahkan zaman (Pembohongan Publik Orde Baru). Yang ada kita menerima zaman itu menjadi bahan pembelajaran," tambahnya.
Ketujuh pahlawan revolusi yang dibunuh menurut hasil visum et repertum dr. Arif yang bernama asli Lim Joe Thay, dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) mengemukakan hasil bahwa para korban itu jelas mati dibunuh dengan tembakan pasukan Cakrabirawa.
Dari hasil otopsi yang mereka lakukan sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, penyiletan atau apalagi, pemotongan alat kelamin oleh anggota Gerwani seperti diberitakan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika itu, Berita Yudha.
Mengenai hasil visum tersebut, Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.


Mengenang Peristiwa '65 (XIII)

UPAYA MENGUNGKAP FAKTA, BUKAN FIKSI
(Komentar tentang Film "Shadow Play")

Oleh HD. Haryo Sasongko

Di masa pemerintahan rezim militer Orde Baru, kita mengenal film "wajib
tonton" produksi pemerintah tentang "Pengkhianatan G-30-S/PKI". Film itu lebih
banyak memuat propaganda politik daripada mengungkap fakta. Apalagi, memang
menampilkan "bintang film" untuk menggantikan tokoh utama yang sesungguhnya,
sehingga (kecuali yang berupa dokumenter), sepenuhnya karya fiksi tak beda
dengan sinetron "Tutur Tinular" dan lain sebagainya.

Runtuhnya Orde Baru dan terkuaknya berbagai misteri tentang peristiwa '65
memperjelas film itu tak lebih dari propaganda politik. Dan kini, muncul film
baru "Shadow Play" produksi Hilton Cordell/Nagabond Films dengan direktur Chirst
Hilton, narasi Linda Hunt dan Associate Producer Walter Slamer serta Lexy
Rambadeta (yang juga menjadi distributornya di Indonesia) yang justru banyak
mengungkap kebohongan-kebohongan dalam film "Pengkhianatan G-30-S/PKI".

Dibandingkan dengan film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" jelas film baru "Shadow
Play" memiliki keunggulan, antara lain:


(1) Mengungkap latar belakang yang menyulut pecahnya Peristiwa '65 yakni
Perang Dingin Barat-Timur sebagai prolog, di mana kedua belah pihak ingin
"memegang" Bung Karno, tokoh Gerakan Non Blok, penggagas Conefo. Namun tampaknya
Bung Karno lebih condong ke Timur (blok komunis). Sementara itu di dalam negeri,
PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok.
Dengan dukungan kekuatan PKI ini, Bung Karno lebih gencar menyerang politik
imperialisme dan kapitalisme Blok Barat. Semua ini membuat Barat Terutama
AS/Inggris semakin "gerah". Dan dimulai dari PRRI, jelas diperlihatkan kebencian
AS/Inggris terhadap Bung Karno dan sejak saat itu ada usaha-usaha pembunuhan
terhadap dirinya.

(2). Film baru ini tidak berhenti pada pecahnya Peristiwa '65 dengan
terbunuhnya sejumlah jenderal seperti dalam film "Pengkhianatan G-30-S/PKI",
tetapi justru lebih menonjolkan epilognya, yakni pembantaian besar-besaran atas
ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang dituding rezim militer
tergolong pendukung PKI. Peristiwa '65 memang tidak hanya berlangsung beberapa
jam pada 1 Oktober '65 saja, yakni sejak penculikan terhadap para jenderal,
dibawa ke Lubang Buaya, "penyiksaan", penguburan dalam sumur, dan ditemukannya
jenazah mereka tiga hari kemudian. Dengan mengungkap ini saja, timbul kesan
rezim militer tak melakukan kesalahan apa-apa, sebaliknya yang dituduh PKI telah
melakukan kejahatan yang luar biasa. Tetapi dengan mengungkap epilognya (yang
bahkan mencakup rentang waktu beberapa tahun kemudian setelah "65), yakni
peristiwa yang menyusul sesudah 1 Oktober, berupa pembantaian besar-besaran atas
instruksi rezim militer, film "Shadow Play" menjadi utuh dalam berkisah. Sebab
justru inilah yang menempatkan rezim militer Soeharto menjadi rezim paling kejam
di dunia karena membunuh rakyatnya sendiri. Karena itu, kisah kelam ini yang
jsutru ditutup-tutupi oleh Orde Baru.

(3). Kalau dalam "Pengkhianatan G-30-S/PKI" hanya diungkap tentang penggalian
kembali kubur para jenderal, di "Shadow Play" di samping menampilkan dokumentasi
penggalian kembali jenazah para jenderal, juga penggalian kembali jenazah para
korban pembunuhan massal, serta berbagai kekejaman militer terhadap rakyat yang
diduga pendukung PKI.

(4). Dalam "Shadow Play" ditampilkan tokoh-tokoh korban (keluarga korban) dan
penderitaannya yang menggambarkan kekejaman rezim militer.

Film "Shadow Play" benar-benar tampil sebagai film dokumenter, tanpa bintang
film, dan dengan urutan cerita yang acak sebagaimana lazimnya sebuah film
dokumenter. Hanya, di sana-sini terdapat "ilustrasi" untuk lebih menghidupkan
proses penyajian kisah. Denganmenampilkan pengakuan wartawan asing yang selalu
"kena sensor", pengungkapan keterlibatan CIA, membuat film "Shadow Play" menjadi
mendekati komplit.

Dan akan benar-benar komplit andaikata tokoh korban yang ditampilkan lebih
banyak, terutama yang dari "akar rumput". Dalam "Shadow Play" ini, yang
ditampilkan justru hanya tokoh "atas", seperti dr. Sumiyarsi, Pramoedya, Latief,
dan pencarian jenazah Ibnu Santoro yang ternyata termasuk korban pembunuhan
massal di Wonosobo. Padahal, amat banyak "akar rumput" yang menjadi korban,
mempunyai kisah yang tragis dan dramatis. Mereka bukan orang-orang terkenal.
Bahkan ada yang buta huruf, tak pandai bahasa Indonesia, tak pernah sekolah dan
lain sebagainya. Kenapa mereka tidak disentuh? Kalau saja mau menggali kisah
mereka, akan membuat film ini betul-betul film dokumenter yang mampu menyajikan
bukti-bukti kekejaman rezim militer Orde Baru. Juga, tak banyak diungkap sejak
Konferensi AA hingga Conefo dan peranan Bung Karno dalam Gerakan Non Blok.
Padahal semua ini menjadi penyebab pihak Barat untuk mengakhiri riwayat Bung
Karno. Jelas, ada kaitan erat dengan pecahnya Peristiwa '65 (sebagai titik
kulminasi).

Lepas dari semua kekurangannya, diharapkan "Shadow Play" bisa ditonton
lebih banyak lagi warga masyarakat, khususnya kalangan pelajar, yang selama ini
mungkin masih memandang film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" sebagai satu-satunya
"fakta sejarah" yang benar, padahal jelas penuh kebohongan. Karena itu
diharapkan film "Shadow Play" ini tidak hanya diputar di Jakarta, tapi juga
dikota-kota lain, bahkan di desa-desa dalam rangka membantu upaya penegakan
sejarah bangsa sendiri dari rekayasa politik warisan Orde Baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar